Haji Makbul Belum Tentu Mabrur, Ini Penjelasannya
Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, menjelaskan perbedaan antara haji makbul dan haji mabrur dalam manasik haji. Ia menilai, manasik selama ini terlalu berorientasi fikih atau teknikal.
Dalam sesi manasik, ia meminta agar materi disusun ulang agar tidak hanya fokus pada syarat dan rukun haji. Menurutnya, nilai spiritual dan transformasi akhlak justru perlu lebih ditekankan kepada jemaah.
"Haji itu bukan sekadar untuk mencapai makbul, tapi bagaimana bisa menjadi mabrur," ujarnya. Ia menegaskan, haji makbul berarti sah secara syariat, namun belum tentu berdampak secara akhlak.
Nasaruddin menyampaikan, semua haji mabrur pasti makbul, tapi tidak semua haji makbul otomatis menjadi mabrur. “Haji makbul diukur dari pelaksanaan di Tanah Suci, sedangkan mabrur dilihat setelah kembali ke tanah air,” katanya.
Ia menambahkan, haji mabrur ditandai oleh perubahan akhlak yang semakin baik dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, semakin terbuka dalam pergaulan, rajin beribadah, dan menjauhi maksiat yang sebelumnya menjadi kebiasaan.
Ia menyebut, haji mabrur memiliki tujuh keutamaan, termasuk di antaranya diampuni dosa dan dijanjikan surga. Dalam hadis disebutkan, balasan haji mabrur tiada lain kecuali surga dan kebersihan jiwa.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa jemaah yang mabrur diibaratkan kembali dalam keadaan suci seperti bayi yang baru lahir. Tanda lainnya ialah meningkatnya ibadah sosial dan amal baik setelah kembali dari Tanah Suci.
Ia juga menyampaikan pahala haji mabrur lebih utama dari jihad di jalan Allah. Hal ini disebut dalam banyak hadis sebagai bentuk kemuliaan dari haji yang diterima secara sempurna.
Meski teknis penyelenggaraan haji kini berada di bawah Badan Pelaksana Haji (BPH), Kementerian Agama tetap bertanggung jawab dalam pembinaan kemabruran. Ia menilai, tahun ini menjadi momen istimewa karena bertepatan dengan haji akbar (*)