Sejarah Singkat Pangeran Dipenogoro
Sejatinya, seorang pahlawan adalah manusia biasa, namun manusia yang memiliki banyak keunggulan, karena sebab itu dia diangkat menjadi pahlawan. Meskipun demikian, dia juga memiliki berbagai kelemahan, salah satunya dengan dari cara pandang orang yang menilainya.
Mungkin, Anda akan kaget, jika seseorang yang dianggap pahlawan oleh satu pihak. Bisa saja akan menjadi seorang pengkhianat di pihak lainnya.
Sama seperti halnya dengan Pangeran Diponegoro, salah satu pahlawan Indoensia yang terkenal akan kegigihannya melawan Belanda. Namun Diponegoro juga hanyalah manusia biasa yang mempunyai kelemahan, simak beberapa sisi lain darinya.
Kupas Tuntas Babad Sejarah Diponegoro
Dalam buku Sisi Lain Diponegoro, Peter Caret mengupas tuntas tentang Babad Kedung Kebo dan Babad Surakarta sebagai pembanding kisah Diponegoro saat diasingkan di Manado. Karya biografi Diponegoro tersebut dikenal sebagai Babad Diponegoro.
Menurut Peter, membandingkan tiga babad yang memuat kisah Diponegoro sungguh sangat menarik. Tentunya, Anda akan mengetahui berbagai sudut pandang dari berbagai pihak pada saat hidup sejaman.
Menyangkal Babad Sejarah Dianggap Kurang Penting
Di awal, Carey membahas pentingnya babad dalam penulisan sejarah. Yang menurut Sejarahwan Indonesia, Sartono Kartodirjo tentang babad dianggap kurang penting sebagai sumber sejarah.
Hingga kemudian, Carey menekankan bahwa babad yang ditulis oleh orang sejaman dengan peristiwa adalah sumber sejarah yang kuat dan penting. Salah satu contohnya adalah Babad Diponegoro saat beliau diasingkan di Manado.
Sedangkan Babad Kedung Kebo ditulis oleh Bupati pertama Purworejo, Raden Adipati Cokronegoro yang pada saat itu merupakan lawan Dipononegoro. Adapun babad lain yang dipakai oleh Carey untuk membahas Diponegoro, yaitu Babad Keraton Surakarta.
Selain membahas sejarah Diponegoro dengan Babad Nusantara, Carey juga membahas hal penting lainnya yaitu kepada budaya Jawa. Hal tersebut mencakup budaya wayang, sang teladan, konsep ratu adil dan Islam.
Keempat hal tersebut sangat mempengaruhi cara pandang orang Jawa terhadap dunianya. Hal tersebut terbukti pada pengaruh kuat dalam menentukan langkah dan tindakan politisi Jawa.
Kedua babad yang berkisah tentang Perang Jawa, yaitu Babad Diopnegoro dan Babad Kedung Kebo sama-sama menggunakan wayang sebagai perlambang. Carey membuat perbandingan tokoh wayang yang dipergunakan dalam kedua babad tersebut.
Dalam Babad Diponegoro, Carey mengidentifikasikan dirinya sebagai Arjuna, yaitu salah satu tokoh Pandawa. Sedangkan dalam Babad Kedung Kebo, Diponegoro digambarkan sebagai Prabu Suyudono, Raja Astinapura yang kemaruk dengan kekuasaan.
Dalam Babad Diponegoro, sang penulis menggambarkan Diponegoro yang sedang berjuang untuk kebenaran. Sedangkan dalam Babad Kedung Kebo, Diponegoro dianggap sebagai pihak yang haus kekuasaan.
Demikian juga Babad Surakarta yang juga berisi tentang perang Jawa menggambarkan para tokohnya dengan perawakan wayang. Tokoh Diponegoro digambarkan sebagai Raden Samba yang memiliki sifat yang sungguh-sungguh tetapi murah hati.
Meneladani Tokoh Jawa
Teladan para tokoh Jawa adalah sangat penting dalam pengambilan keputusan para politisi Jawa. Hal tersebut diungkapkan secara rinci oleh Carey dalam persiapan Diponegoro sebelum mengobarkan perang Jawa.
Hingga kemudian, Diponegoro meneladani Sultan Agung dan Sunan Kalijogo. Melalui pertemuan-pertemuan spiritual dengan tokoh-tokoh tersebut membuat Diponegoro merasa disiapkan untuk menjadi pemimpin Islam serta menjadi pemegang kekuasaan.
Belum lagi ditambah dengan pandangan tentang Ratu Adil, yang salah satunya adalah dari Ramalan Joyoboyo. Maka lengkaplah persiapan spiritual Diponegoro untuk mengobarkan perang.
Diponegoro sendiri paham bahwa ia akan kalah. Dalam kajian terhadap ramalan yang dia lakukan, Diponegoro tahu bahwa ia hanya akan sampai mengobarkan sebuah perang, dan tidak akan memenangkannya.
Setelah menguraikan tiga hal penting, Peter Carey menguraikan persamaan dan perbedaan dari ketiga babad yang dibahasnya. Ketiga babad ini memiliki persamaan, yaitu membahas tokoh Diponegoro dalam perang Jawa, ketiganya menggunakan wayang.
Sedangkan perbedaannya terletak pada tokoh Diponegoro itu sendiri. Babad Diponegoro menggambarkan misi suci Diponegoro untuk mengembalikan kedudukan Islam dan pemerintahan orang Jawa.
Sebuah misi yang sudah diramalkan sebelumnya dan harus terjadi, yaitu sebuah perang suci melawan ‘kafir’ Belanda. Tidak hanya itu, Babad Kedung Kebo mengisahkan Diponegoro yang dikagumi atas laku spiritualnya.
Namun Diponegoro tidak taat kepada tanda-tanda jaman yang telah diterimanya. Bila ditelaah lebih dalam, Cokronegoro mengemukakan bahwa Diponegoro terpengaruh oleh sifat kesombongan.
Ia kemudian mengabaikan peringatan-peringatan yang telah diberikan oleh Tuhan sebelum pecahnya perang. Sehingga kemudian, Babad ini tidak bisa disamakan dengan Babad selanjutnya.
Lalu, bagaimana dengan Babad Surakarta? Dimana pada saat itu, Dipenogoro diposisikan sebagai pihak yang sedang melaksanakan ramalan Joyoboyo. Babad ini ditulis oleh orang keraton yang kemudian meragukan mengenai kesungguhan keyakina
Dalam babad yang ditulis oleh orang keraton ini, meragukan mengenai kesungguhan keyakinan keagamaan Pangeran Diponegoro. Meskipun demikian, buku ini dilengkapi dengan uraian yang lengkap mengenai naskah Babad Kedung Kebo.
Selain itu, riwayat Cokronegoro dan Basah Pengalasan yang dianggap sebagai penulis Babad Kedung Kebo. Menariknya, saat buku ini selesai ditulis, Peter Carey juga mencantumkan dalam lampiran surat khusus.
Surat tersebut bukanlah sembarang surat, melainkan surat Basah Pengalasan dari Peter Caret kepada Kolonel Cleerens menjelang penangkapan Diponegoro. Hingga kemudian, momen inilah yang menjadi suatu keindahan ketika Anda menamatkan buku tersebut. (*)