Jayaning Majapahit: Kisah Gajah Mada hingga Raden Wijaya
Pada tahun 2014 silam, Agus S. Soerono memutuskan untuk menerbitkan sebuah novel sejarah bertajuk 'Jayaning Majahapahit: Kisah Para Kesatria Penjaga Samudra'. Buku dengan tebal 155 ini, menceritakan tentang Kerajaan Majapahit, setelah Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapanya.
Sumpah Palapa yang diucapkannya pada saat itu dilakukan untuk menyatukan nusantara. Dan juga merupakan salah satu langkah pertamanya untuk memperkuat armada laut.
Gajah Mada sendiri merupakan seorang panglima perang dan Mahapatih Majapahit yang sangat berpengaruh. Ia kemudian berhasil mempersatukan Nusantara dibawah kekuasaan Majapahit.
Bisa dikatakan, bahwa armada laut yang dipakai oleh Majapahit menggunakan meriam cetbang. Meriam cetbang merupakan senjata sisa serbuan pasukan Mongol yang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Raden Wijaya.
Uniknya, hingga kini masih belum ada catatan sejarah yang menyebutkan arti kata cetbang itu sendiri. Justru, nama cetbang sendiri diyakini sudah lama populer sebagai sebutan senjata jarak jauh.
Dalam sejarahnya, meriam cetbang bukan senjata murni buatan masyarakat Majapahit. Melainkan senjata sisa serbuan pasukan Dinasti Yuan ke Pulau Jawa pada tahun 1923 masehi.
Hingga kemudian, invasi pasukan kaisar Kubilai Khan mellaui jalur laut tersebut merupakan reaksi atas tindakan Raja Kertanegara, Kerajaan Singasari. Yang pada saat itu berani melukai utusan Dinasti Yuan lantaran menolak membayar upeti kerajaan asal Tiongkok.
Di tengah perjalannya, terjadilah pemberontakan di wilayah kekuasaan Singasari yang dilakukan Jayakatwang, Kerajaan Kadiri (Kediri). Saat itu, Raja Kertanegara terbunuh dan Singasari dikuasai oleh Kediri.
Berhasil membuat kediri menyerah, pasukan mongol tiba-tiba diserang oleh Mejapahit yang merupakan bekas sekutunya. Dalam hal ini perang tersebut dipimpin Raden Wijaya, dan kemudian, Majapahit berhasil memukul mundur bala tentara Dinasti Yuan dengan cetbang.
Sehingga bala tentara Dinasti Yuan, saat itu gagal menguasai tanah jawa. Dan sejak itulah, sejumlah meriam yang ditinggalkan pasukan Mongol diambil oleh Majapahit, salah satunya adalah cetbang.
Sejumlah meriam tersebut lantas dimodifikasi dan diadaptasi dan diproduksi sesuai kebutuhan kala itu. Meriam cetbang yang berbahan dasar besi itu telah melakukan berbagai ragam proses metalurgi.
Bahan tersebut kemudian dilebur menjadi api dengan suhu di atas 1.500 derajat celcius yang kemudian dicetak. Hingga kemudian, meriam cetbang memiliki ukuran yang beragam, rata-rata antara 1-3 meter.
Selain fokus dalam meriam cetbang, adapun kisah pertempuran Raden Wijaya dengan Raja Kediri, yang dibantu panglima dari Mongol. Ia kemudian memberikan wawasan bagi Nala dalam menjalankan strateginya.
Para Kesatria, yang berperang demi mempertahankan tanah dan laut mereka juga dikisahkan cukup seru di dalam buku ini. Jayaning Majapahit (Kejayaan di Majapahit) menceritakan kembali sejarah kebesaran Majapahit.
Kisah Gajah Mada yang Beralih Fokus Kepada Kisah Raden Wijaya
Meskipun novel ini berkisah tentang sejarah Diponegoro, diawal cerita novel sangat berfokus kepada cerita Gajah Mada. Lalu kemudian ditengah cerita berbalik ke Raden Wijaya.
Sehingga banyak pembaca yang merasa kebingungan dengan latar cerita yang disusun. Hal itu dibuktikan dengan Raden Wijaya mendapat bantuan yang totalitas dari Arya Wiraraja.
Sheingga Arya Wiraja dikishakan mendapatkan tanah di Madura oleh Kertanegara. Hal ini juga yang membuat Arya berhutang budi pada Kertanegara.
Menyoroti kekurangan pada novel, sosok Arya Wiraraja tidak begitu disorot. Tapi kemudian menjadi tanya besar, bagaimana bisa Arya yang jauh di Madura dapat dengan mudahnya memberi bantuan.
Uniknya, sosok Arya Wiraraja pada novel tersebut cukup menyita perhatian pembaca. Hal ini yang agak mustahil dan cukup ganjil.
Ternyata, Arya Wiraja merasa berhutang budi pada Sri Kertanegara, dan membantu Raden Wijaya karena dia merupakan menantu dari Sri Kertanegara.
Sehingga novel yang awalnya memiliki fokus pada Gajah Mada yang diangkat menjadi patih, berkilas balik ke masa Raden Wijaya. Dengan diakhiri kisah yang bersambung dan memutus cerita saat dibagian klimaksnya. (*)