Breaking News
---

DUDA BODONG

KASIM SURIDINATA
 
Ditulis oleh ; Kasim Suriadinata,S.Pd

Seorang ibu muda yang baru pulang dari negeri orang, Arab Saudi,sebagai tenaga kerja wanita (TKW) mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama, atas suaminya, yang ditinggalkannya bersama dua orang anaknya yang masih duduk di SD, selama dua tahun dan sebelumnya juga dua tahun. Alasan yang digunakan dalam gugatan ternyata alasan yang dialami ketika mereka masih utuh sebagai keluarga sebelum berangkat bekerja ke negeri orang, yaitu kemiskinan.  Dalam gugatannya “si ibu” mengatakan bahwa suaminya itu tidak bertanggungjawab terhadap keluarga yang membutuhkan banyak hal terutama materi sebagai pemenuh kebutuhan keluarga. Kondisi ekonomi keluarga tersebut sebelum berangkat ke Saudi Arabia memang “morat-marit”. Banyak kebutuhan hidup tidak terpenuhi. Ma’lum sang suami tidak memiliki usaha dan pekerjaan tetap. Keahlianpun tak punya. Ijasah yang dimiliki hanya ijasah SD. Untuk sekedar mendapatkan uang ia bekerja serabutan, terkadang “ngojeg motor”, karena hanya itulah yang dimiliki sebagai alat pencari uang. 

Awalnya, ketika istrinya menyampaikan niat ingin bekerja di Arab Saudi, sang suami sangat berharap dengan hasil kerja istrinya di negeri orang,nanti, hidup dan kehidupan keluarganya akan berubah dan menjadi lebih baik. Sebab istrinya bilang, bahwa kepergiannya ke Arab Saudi adalah dengan tujuan merubah nasib demi keluarga, suami dan anak-anaknya. “Kalau saya tidak ke Arab, bagaimana masa depan keluarga. Hidup di kampung sendiri sudah sangat susah mendapatkan uang. Toh orang lainpun banyak yang ke Arab.”, begitu kata-kata yang terlontar dari mulut sang istri.   Sang suami  tak bisa menjawab apa-apa, karena apa yang diucapkan istrinya yang sangat dicintai itu memang benar dirasakannya. Padahal, dihati kecilnya dia tidak rela berpisah dengan istri yang sangat dicintainya itu, apalagi bertahun-tahun. Dia mengenang, betapa susahnya mendapatkan perempuan itu. Sambil memeluk anaknya yang bungsu sang suami mengiyakan , tanda menyetujui niatan sang istri.
 
Berselang beberapa hari sang istri sudah dijemput orang, “sponsor TKW”, entah dari PT apa. Yang jelas orang itu penduduk kampung sebelah yang sudah terbiasa bekerja mencari perempuan untuk bekerja di luar negeri.  Sejak saat itulah sang suami bergelar “duda bodong”.

Kini istrinya sudah pulang setelah empat tahun berada di tempat bekerja di Arab Saudi. Tapi kebahagiaan atas kepulangan istrinya itu tidak belangsung lama. Belum sebulan, istrinya minta cerai dengan alasan yang tidak bisa dimengeri. Permintaan istrinya itu dengan tegas ditolaknya. Keteganganpun terjadi. Belakangan ternyata diketahui bahwa istrinya telah mengajukan gugatan di Pengadilan Agama Karawang melalui seorang”pengacara”.    Kini ia termenung memikirkan nasib dan apa yang harus diperbuat atas gugatan istrinya itu. Ia tak memiliki ilmu tentang seluk beluk hukum. Keinginannya, bertahan sebagai suami, menjalankan hidup dengan hasil istrinya sesuai dengan apa yang pernah diucapkan istrinya sebelum berangkat meninggalkan keluarga bertahun-tahun. Sepertinya, harapan dan bayangan hidup bahagia bersama istrinya menjadi kabur. Padahal dia sudah berusaha setia, walau bertahun-tahun tanpa istri disampingnya ia tetap memfungsikan sebagai kepala keluarga atas kedua anaknya. Atas kebingungannya itu, ia berusaha meminta pendapat orang lain termasuk keluarga dan saudara-saudaranya.  Akhirnya dia mendapat satu keputusan. Atas saran seseorang, dia bersedia mengabulkan permintaan cerai istrinya asal mendapat ganti rugi jumlahnya sepuluh juta rupiah.
Sampai artikel ini dibuat, kedua insan suami istri yang identitas dirinya sengaja disembunyikan, sedang berperkara di Pengadilan Agama Karawang.

Penomena kehidupan diatas ternyata merebak. Bukan hanya satu. Tidak sedikit, keluarga yang tadinya harmonis menjadi hancur berantakan. Persoalannya, rumahtangga suami istri berpisah secara fisik bertahu-tahun. Hal ini menarik untuk dikaji dari sisi manfaat dan mudlaratnya. Kita punya alat ukur untuk itu. Kita punya Al-Qur’an. Kita punya Hadits. Kita punya para ulama, para cendekiawan. Kita punya peraturan perundang-undangan. Kita punya Kompilasi Hukum Islam.  Alasannya, karena sebagian besar yang mengalami seperti yang terjadi di atas menimpa rumahtangga keluarga-keluarga muslim. Dalam pemahaman islam ,“rumahtangga” merupakan tonggak-tonggak yang membentuk “masyarakat muslim” yang harus selalu dipelihara. Masyarakat muslim yang baik dan kuat adalah masyarakat yang rumahtangga-rumahtangganya  baik dan kuat.  Syariat islam hanya bisa diimplementasikan dengan baik pada masyarakat muslim dengan rumahtangga-rumahtangga yang baik dan kuat. Ibarat tanaman, masyarakat muslim yang baik dan kuat adalah lahan yang subur untuk ditanami islam dengan syariatnya. Kalau lahan itu dibiarkan terkikis erosi, dirusak, dikotori, dibiarkan tandus, jangan harap kita bisa menanam pohon dengan subur dan menghasilkan buah yang memuaskan.
Siapa bertanggungjawab ?
Wallahu a’lam.
Baca Juga:
Posting Komentar
Tutup Iklan