GfOoTUz6TpM6Tfr9TUYpTpC6BY==
Light Dark
RENUNGAN MALAM 17 AGUSTUS

RENUNGAN MALAM 17 AGUSTUS

Daftar Isi
×
MERDEKAAN ORANG DESA...........PELITA KARAWANG ON LINE-.Transisi menuju transaksi demokrasi dengan repormasi yang sedang kita jalani belakangan ini,selain tujuan menumbuhkan harapan akan perubahan, juga menyuburkan kecemasan akan potensi kegagalannya,mungkin kehancuran. Ketika sepakat bangsa ini melakukan reformasi, sebetulnya ingin berpindah secara kualitatif dari satu orde yang korup, otoriter, dan anti demokrasi menuju orde yang bersih dan demokratis.Namun,reformasi bukanlah perpindahan kualitatif seperti yang diharapkan jauh dari tranformasi,malah timbul gelar “revolusi diam-diam”.

Bahkan sejumlah kalangan mengatakan, selama repormasi seakan tidak ada orde dalam arti tatanan yang lebih baik. Yang ada adalah bablasan atau kelanjutan orde sebelumnya.Inilah awal dari seluruh kecemasan berbuah malapetakan.Karena, yang terjadi selama reformasi bukanlah perpindahan secara kualitatif dan lebih merupakan kelanjutan orde sebelumnya bila di kaji mendalam. Kebebasan dalam bentuk terbukanya ruang politik melalui Pemilu 2004 itu dinikmati juga oleh mereka yang selama ini kerjanya "merampok" negara juga dinikmati kaum oportunis.

KITA masyarakat kecil dan dianggao kerdil jadi saksi eforia politik berlebihan yang muncul setelah tumbangnya Soeharto melemahkan civil society yang sebelumnya bersatu. Kini kebebasan politik yang muncul pada masa transisi demokrasi justru telah melemahkan civil society dan juga aktor di dalamnya.

Saat rezim otoriter Orde Baru tumbang dengan lengsernya Soeharto, fokus kehidupan politik bergeser dari perjuangan menjadi tindakan terpencar dan sendiri-sendiri.Tanpa bisa dihindari, gerakan demokratisasi yang mendasarkan diri pada isu tunggal anti-otoritarianisme dengan sendirinya kehilangan keutamaan dan menjadi redup setelah musuh bersama itu tumbang.Pada saat yang sama, banyak kalangan lantas memutar haluan. Kepentingan dan pertimbangan keuntungan pribadi lebih mengemuka daripada memikirkan memajukan demokrasi.

Masa depan cerah masa transisi menuju demokrasi segera luntur, dan front koalisi besar civil society yang semula bersatu menentang kekuasaan otoriter porak poranda.Civil society semakin lemah ditinggalkan sebagian besar pendukungnya.Sebagian dari mereka berpendapat bahwa,mewujudkan demokrasi lebih efektif dengan cara menjadi partisan partai politik atau birokrat daripada menjadi kekuatan oposisi yang bersatu di luar panggung. Nilai demokrasi kini pindah dari civil society ke panggung politik dan diperebutkan politisi yang semula bersama-sama mengusung proses demokratisasi.

Latar belakang dan identitas kembali menjadi ikatan untuk perebutan nilai demokrasi yang diartikan tidak lebih dari kekuasaan dan uang.Identitas komunal memang tidak pernah lepas mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Sah-sah saja mereka menghidupi latar belakang identitas komunal tertentu mengukuhkan identitas komunalnya melalui institusi politik untuk alasan mulia memajukan demokrasi.Namun, dalam sejarahnya, identitas komunal menjadi kekuatan yang merusak kebebasan ketika dipaksakan kehadirannya.

Demokrasi terpimpin dengan jargon nasionalis, agama, dan komunis terbukti telah menjadi perusak kebebasan.
Identitas komunal yang seharusnya muncul dari masyarakat menjadi unsur perusak ketika sistem (negara) menjadi faktor utama yang memaksa.

Ketika 32 tahun Orde Baru dan Soeharto berkuasa, identitas komunal secara sistematis subur ditumbuhkan dalam upaya mempertahankan kekuasaannya. Pada masa itu, negara menjadi kekuatan perusak dan pembiadab terbesar karena dibangun dalam sistem yang salah dan dijalankan oleh orang yang salah secara salah.

Sebenarnya,negara berpotensi menjadi kekuatan pemberadab terbesar, yaitu jika dibangun dalam sistem yang benar dan dijalankan oleh orang-orang benar secara benar. Kita sepakat, terlepas dari kelelahan dan ketidakpastian, sistem demokrasi tetaplah menjadi sistem terbaik untuk membangun negara sebagai kekuatan pemberadab.

Demokrasi dapat dirumuskan sebagai sistem politik yang tegak di atas prinsip kedaulatan rakyat dan dijalankan melalui rasionalitas politik saling kontrol di antara tiga pilarnya, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Namun, pemaknaan secara sosiologis mengenai demokrasi perlu ditekankan agar tidak terjebak pada pemaknaan yang sempit. Secara sosiologis, demokrasi dapat dimaknai sebagai proses politik yang bukan hanya bertumpu pada kedaulatan rakyat, tetapi bertumpu pada keadilan dan upaya transformatif.Kalau hanya dimaknai sebagai kedaulatan rakyat, terlebih secara sempit, seperti yang kita lihat saat ini, mereka yang berkutat dalam dunia politik hanya bicara soal nomor urut. Oleh mereka, pemilu hanya dilihat sebagai sarana mencapai uang dan kekuasaan, bukan sebagai sarana membentuk masyarakat yang berkeadilan sosial dan transformatif.

Dalam arti ini, peran negara tidaklah dominan, tetapi sebatas sebagai penjamin adanya kesetaraan dan keadilan politik bagi setiap warga negara tanpa memandang suku, ras, dan agama, atau dengan kata lain inklusif.
POLITIK asumsinya adalah sekular. Tidak ada kebenaran yang dibekukan, dibakukan, atau dipermanenkan.

Kebenaran yang telah disepakati bersama secara periodik lima tahunan diadu lagi untuk kemudian dicari dan ditemukan untuk dihidupi bersama. Politik adalah sekular, bukan dalam arti anti-agama, tetapi dalam arti semua orang punya kesempatan, setiap klaim kebenaran punya ruang untuk kemudian naik dan muncul mewarnai.

Tentunya ada kontestasi di dalamnya.Karenanya, adalah sah mereka, yang semula bersatu dalam nama civil society dan kini terserak dan kerap berlawanan atas nama perebutan kekuasaan, berdiri dalam identitas komunal yang lebih memberi rasa aman di tengah kecemasan dan ketidakpastian transisi. Pluralisme adalah tuntutan demokrasi.

Namun,dimungkinkannya kebenaran yang beragam hidup dalam demokrasi dengan membuat representatif politik atasnya secara vertikal atas dasar apa saja tidak cukup untuk menyatakan adanya pluralisme.

Pluralisme dapat muncul jika dimungkinkan adanya overlapping consensus. Di Indonesia yang sangat pluralistis, situasi overlapping consensus belum sungguh-sungguh terjadi. Untuk mewujudkan demokrasi di tengah pluralisme identitas komunal dengan klaim kebenaran masing-masing, situasi overlapping consensus harus tumbuh dengan adanya jaminan hukum dan rasa aman saat seseorang dan komunitas berada di luar identitas komunalnya.

Secara primitif, rasa aman memang diberikan komunitas atas dasar identitas komunal. Akan tetapi, dalam negara modern, rasa aman sejatinya harus ditumbuhkan dan diberikan melalui hukum dan perangkatnya. Namun, kesulitannya, kadang kala dan kerap kali kita enggan dan ragu untuk keluar dari mentalitas komunal yang memberi rasa aman dan perlindungan secara primitif.

Satu misal realitas,Pertama, penggunaan istilah pendidikan dan pelajaran terkesan dicampuradukkan.Padahal, setidaknya bagi mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan, amatlah tegas. Pelajaran terkait pengajaran(instruction).Itu berarti suatu bentuk kegiatan yang terbatas dari segi mediumnya untuk menanamkan suatu kecakapan spesifik-dan umumnya hanya menyangkut aspek kognitif-yang mengambil bentuk mata atau satuan pelajaran (subject matter) di kelas-kelas tradisional serta umumnya bersifat searah dan berkesan pelajar dianggap sebagai obyek yang pasif.

Sedangkan pendidikan (education) berbicara tentang penanaman kecakapan hidup (life skills) -kecakapan untuk berpikir atau mengetahui (learning how to think), kecakapan untuk bertindak (learning to do), kecakapan (individual) untuk hidup (learning to be), kecakapan untuk belajar (learning how to learn), dan kecakapan untuk hidup bersama (learning to live together).

Di dalamnya tersangkut bukan hanya kecakapan akademik kognitif, tetapi afektif (emosional, sosial, dan spiritual) maupun psikomotorik.Mediumnya pun tidak terbatas pada bentuk-bentuk pengajaran tradisional, tetapi mencakup semua aspek kehidupan nyata seseorang di tengah masyarakat selain menekankan interaktivitas dan partisipasi aktif pelajar dalam proses belajar itu.Di dalamnya terkandung keyakinan terhadap keharusan manusia untuk belajar seumur hidup (long life learning).dapat dipahami bahwa pendidikan sama sekali tak terbatas pada pendidikan formal, bahkan juga pendidikan luar sekolah-yang sedikit banyak masih bersifat formal-apalagi sekadar pengajaran.


Kemudian,di awal era reformasi, Taufik Ismail dalam puisi Puisi paling pendek -nya berjudul “Merdeka” (1998) menulis :Merdeka! / Belum /..

Lima tahun setelah reformasi bergulir, Taufik Ismail kembali mempertegas tema merdeka melui puisi berjudul “Aku Malu Menatap Wajah Saudaraku Petani” (2003). Napas puisi Taufik Ismail ini menjadi ajang pencerahan bersama, di tengah kesibukan seremonial HUT kemerdekaan RI yang ke-65 tahun ini. Puisi itu menyimpan 1001 rahasia kehidupan orang desa yang tak terjamah.Separuh dari warga kita adalah orang desa.Tetapi,apakah warga desanya sungguh “merdeka”?

Inilah ruang permenungan kita. 65 tahun kita menikmati kemerdekaan tapi kemerdekaan warga desanya, jauh dari zeitgeist (jiwa kemerdekaan) itu sendiri. Ada banyak penjelasan tentang makna kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Taufik Ismail, coba membawa kita mendekatkan diri kepada orang-orang di desa. Ia menggambarkan desa abad XXI, sebagai…belum merdeka, bahkan sama buruknya dengan hidup orang desa di abad sebelumnya. Adakah berita baik datang dari desa?

Banyak krisis yang pernah mengutuk bangsa ini, seperti krisis iklim, krisis politik, krisis hukum, krisis BBM, krisis pangan, dan orang desalah yang selalu saja jadi “korban”.

Lihatlah, ketika petak-petak sawah mengering, serangan hama datang, pupuk langka, harga panenan ambruk, nelayan tidak bisa melaut karena tak mampu beli solar, dolar menguat gara-gara korupsi politisi. Lalu diupayakan agar korban di desa bisa diminimalisasi, melalui soiusi darurat BLT dan solusi semi darurat IDT. 65 tahun bangsa ini merdeka, tetapi orang desa belum bisa menentukan harga jualan atas beras, kacang-kacangan, sayur-mayur, ikan segar, ayam kampung, kambing yang mereka panen dari desa mereka sendiri.

Sebagian orang desa coba-coba mengais hidup di kota, tetapi kehadiran mereka dipandang mengotori kota, terutama yang tiduran di emperan toko, atau di bawa kolong jembatan.Memang orang desa, tempatnya di desa. Tapi, orang kota tidak bertanya kenapa orang desa mulai mengembara ke kota. Pipa jumbo dari kota langsung menyedot mata air orang desa. Kayu-kayu bangunan, dari rumah jabatan bupati sampai kantor pak lurah, juga ditebang dari hutan orang desa. Tapi, orang desanya tinggal di gubuk reot.Mungkin ini adalah fenomena yang disebut Mao Zedong sebagai “Kota Mengepung Desa” (1923). Semuanya “dijarah” dari desa, tapi, warga desa ditinggali tanpa akses akseleratif yang seimbang dan manusiawi.

/“….Aku malu kepadamu, wahai saudaraku petani/ Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani...../sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian,/ tak pernah kami orang kota, ganti memberikan subsidi”/
cetus Taufik Ismail dalam puisi berjudul “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia”.

Lantas dengan apa, bangsa ini dapat memerdekaan warga desanya? Dengan subsidi BBM, pupuk gratis, obat hama gratis, alat tangkap murah bagi nelayan, sebanyak mungkin bikin irigasi dan mesin penyedot air, jaringan listrik, sekolah, puskesmas dan klinik, sandang-pangan tercukupi, transportasi terjangkau. Sayangnya, upaya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di desa sering hanya dipandang sebagai proyek yang tak jarang terkena “hama” korupsi, aksi sunat-menyunat anggaran, mulai dari kepala desa hingga DPR pusat bahkan sampai ke jajaran menteri.

Ketika desa menjadi kampung mati, maka negeri ini, sebesar apapun ia, tidak lama lagi akan berada di tebing kehancuran. Karenanya bangsa ini harus dimerdekakan mulai dari desa. Semoga harapan ini ditangkap oleh para politisi yang akan bertarung pada Pemilu 2009 untuk menggagas sesuatu yang baik bagi warga desa. Bukan dengan janji kosong di panggung kampanye, tetapi aksi nyata sekarang juga. Kalau saja 38 parpol yang ada saat ini menyisihkan separoh dari anggaran kampanyenya untuk membangun desa, maka pada PEMILU 5 tahun mendatang,Insya Allah sudah ada berita baik datang dari desa untuk kota dan sebaliknya.

Bangsa kita bukanlah bangsa pengecut yang terdiam seharusnya tersentak ketika haknya di rampas,bangsa kita bukanlah golongan penjilat,ketika terdesak..........tapi bangsa kita adalah bangsa yang pemberani dan tanpa pamrih...!!!. /dari berbagai sumber oleh :Abdul Haq.

0Komentar